MK: Penetapan Tersangka Masuk Lingkup Praperadilan
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh
terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pasific
Indonesia Bachtiar Abdul Fatah.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan
didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya di ruang sidang pleno MK,
Jakarta, Selasa (28/4). Putusan tersebut menegaskan ketentuan
praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan
dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan.
Adapun Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
Menurut Mahkamah, KUHAP tidak memiliki check and balance system
atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya
mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum Acara
Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law
secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan
menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan
perolehannya,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan Pertimbangan
Hukum.
Hakikat keberadaan pranata
praperadilan, lanjut Mahkamah, adalah bentuk pengawasan dan mekanisme
keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan
jaminan perlindungan hak asasi manusia. Namun dalam perjalanannya,
lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam
proses pra-ajudikasi. “Fungsi pengawasan pranata praperadilan hanya
bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang
mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat
diawasi pengadilan,” imbuhnya.
Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal
77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari
proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan
sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi
seseorang. “Mahkamah berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan
tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan
terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai
manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di
hadapan hukum,” tegas Anwar.
Dua Alat Bukti
Selain itu, dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah
menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan
Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti”
yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan
jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum
bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst”.
Oleh karena itu, pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas due process of law untuk
melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai
hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat
beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi
asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.
“Dengan demikian, seorang
penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang
cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya
tindakan sewenang-wenang,” tegas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Dissenting Opinion
Terhadap putusan tersebut, tiga orang hakim, yakni Hakim Konstitusi I
Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Muhammad Alim menyatakan pendapat
berbeda (dissenting opinion). Menurut Palguna, Mahkamah
seharusnya menolak permohonan Pemohon terkait dengan tidak masuknya
penetapan tersangka dalam lingkup praperadilan lantaran hal tersebut
tidak bertentangan dengan Konstitusi. Berpegang pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Palguna
menilai tidak memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup
praperadilan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut
hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut adanya
tanggung jawab negara (state responsibility).
Adapun Hakim Konstitusi Muhammad Alim menilai, jika dalam kasus
konkret penyidik ternyata menyalahgunakan kewenangannya, misalnya secara
subjektif menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa mengumpulkan
bukti, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Pasalnya, hal
semacam itu merupakan penerapan hukum. Penilaian atas penerapan hukum
adalah kewenangan institusi lain, bukan kewenangan Mahkamah.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto berpendapat tidak dimasukannya
penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang
pembentuk undang-undang untuk merevisinya. Tidak dimasukannya ketentuan
tersebut tidak serta merta menjadikan Pasal 77 huruf a bertentangan
dengan Konstitusi.
Sebelumnya, Bachtiar mengajukan pengujian undang-undang terkait
ketentuan tentang penyidikan, proses penahanan, dan pemeriksaan perkara
dalam KUHAP. Diwakili Kuasa Hukum Pemohon Maqdir Ismail, Pemohon menguji
Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) Pasal 77
huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Pasal-pasal tersebut dianggap telah
diberlakukan dalam proses pemidanaan kepada Pemohon yang telah
ditetapkan sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan Pemohon
dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan, Pasal 77
huruf a UU yang sama diberlakukan kepada Pemohon dalam perkara
praperadilan.
“Jelas terhadap hubungan sebab-akibat antara kerugian hak
konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP yang
diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji
dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon
dirugikan atas pengakuan, jaminan perlindungan, kepastian hukum yang
adil, dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Maqdir. (Lulu Hanifah)
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796