Sabtu, 20 Februari 2016

Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok dari Negara Hukum (rechtsstaat) dan prinsip the rule of law.[34] Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan ditentukan:
“kekuasaan kehaiman adalah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu , harus diadakan jaminan Undang-Undang tentang kedudukan para hakim.”

Yang dimaksud pemerintah dalam penjelasan ini dapat dipahami dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif  sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, terutama antara fungsi  legislatif dan eksekutif.[35] Namun meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Inilah salah satu ciri penting Negara hukum yang hendak dibangun berdasarkan UUD 1945.
Untuk menegaskan prinsip negara hukum itu, setelah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalam perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam usaha memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan financial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer dan badan peradilan tata usaha Negara berada dibawah kekuasaan mahkamah agung.
Setelah Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.[36]  Proses peralihan itu dipertegas lagi Ketentuan Peralihan Pasal 42 Undang-Undang ini bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan pradilan Tata Usaha Negara selasai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004, Pengalihan orrganisasi, adiminstrasi dan financial dalam lingkungan peradilan agama dan Militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut diatas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Perubahan UUD 1945 mau tidak mau telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[37]
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, mmutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil perselisihan hasil pemilihan umum, selain itu pasal 24C ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden  dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.[38]
Disamping itu perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dikemukakan diatas, UUD 1945 juga telah memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudiasial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim.
Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman itu sendiri dirumuskan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaiman disebut dalam UUD 1945. Kebebasan dalam melaksanakan yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.[39]
Kedudukan kekuasaan kehakiman yang merupakan pilar ketiga dalam sistem penyelenggaraan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan ketiga ini seringkali disebut  kekuasaan yudikatif. Dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah yudicatief. Dalam bahasa inggris, disamping istilah legislatiive dan executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial atau judiciary atau judicature. Sedangkan yang biasa dianggap sebagai pilar keempat  atau “ the fourth estate of democracy” adalah pers bebas (free press) atau prinsip independence of the press. Karena itu, jika dalam pengertian fungsi negara (estate functions) dikenal adanya istilah trias politica, dalam sistem demokrasi secara lebih luas juga dikenal dengan istilah “quadru politica”.[40]
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara.[41] Prinsip independence of judiciary menjadi salah satu ciri terpenting dalam setiap negara hukum yang demokratis. Tidak ada negara yan dapat dikatakan negara demokrasi tanpa praktek kekuasaan kehakiman yang independen.[42] Dan prinsip lain yang harus ada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah judicial impartiality atau prinsip ketidakberpihakan. Ketidakberpihakan itu sendiri mengandung makna dibutuhkan hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial.
Namun, disamping kedua prinsip tersebut dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang dianggap penting. Misalnya dalam forum International judicial Conference di Bangalore, India, 2001 berhasil disepakati draf kode etika dan prilaku hakim sedunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft. Selanjutunya setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali-kali, draft ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai pedoman bersama  dengan sebutan resmi The Bangalore Principles of Judicial Conduct.
Dalam the Bangalore Principles itu tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu Prinsip-prinsip independence, impartiality,integrity, propriety, equality, dan competence and diligence.[43]
1.       Independensi (independence principle)
2.       Ketidakberpihakan (impartiality principle)
3.       Integritas ( integrity principle)
4.       Kepantasan dan Sopan santun ( propriety principle)
5.       Kesetaraan ( equality principle)
6.       Kecakapan dan Keseksamaan ( competence and diligence principle)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar