Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok dari Negara Hukum (rechtsstaat) dan prinsip the rule of law.[34]
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan diniatkan
sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik
seperti MPR/DPR dan presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945
sebelum perubahan ditentukan:
“kekuasaan
kehaiman adalah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu , harus diadakan jaminan
Undang-Undang tentang kedudukan para hakim.”
Yang
dimaksud pemerintah dalam penjelasan ini dapat dipahami dalam arti
luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatif dan
eksekutif sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, terutama antara fungsi legislatif dan eksekutif.[35]
Namun meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang
kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Inilah salah satu ciri penting Negara hukum yang
hendak dibangun berdasarkan UUD 1945.
Untuk
menegaskan prinsip negara hukum itu, setelah reformasi, ketentuan
mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalam perubahan ketiga UUD
1945 pada tahun 2001. Pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka
salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya
untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam
usaha memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai
dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Melalui
perubahan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tersebut telah diletakkan
kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut
teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan financial
berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Dengan
berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan
peradilan agama, badan peradilan militer dan badan peradilan tata usaha
Negara berada dibawah kekuasaan mahkamah agung.
Setelah Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.[36] Proses
peralihan itu dipertegas lagi Ketentuan Peralihan Pasal 42
Undang-Undang ini bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial dalam lingkungan peradilan umum dan pradilan Tata Usaha Negara
selasai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004, Pengalihan
orrganisasi, adiminstrasi dan financial dalam lingkungan peradilan agama
dan Militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
Perubahan-perubahan
yang dilakukan tersebut diatas, sejalan dengan semangat reformasi
nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi
dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Perubahan UUD 1945 mau
tidak mau telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan
khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan
tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.[37]
Ketentuan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-undang terhadap undang dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
mmutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
perselisihan hasil pemilihan umum, selain itu pasal 24C ayat (2)
menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.[38]
Disamping
itu perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sebagaimana yang dikemukakan diatas, UUD 1945 juga telah
memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelengaraan
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudiasial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan memiliki
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta prilaku hakim.
Dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman itu sendiri dirumuskan sebagai
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi
terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman
yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali
dalam hal-hal sebagaiman disebut dalam UUD 1945. Kebebasan dalam
melaksanakan yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.[39]
Kedudukan
kekuasaan kehakiman yang merupakan pilar ketiga dalam sistem
penyelenggaraan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan
ketiga ini seringkali disebut kekuasaan yudikatif. Dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah yudicatief. Dalam bahasa inggris, disamping istilah legislatiive dan executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial atau judiciary atau judicature. Sedangkan yang biasa dianggap sebagai pilar keempat atau “ the fourth estate of democracy” adalah pers bebas (free press) atau prinsip independence of the press. Karena itu, jika dalam pengertian fungsi negara (estate functions) dikenal adanya istilah trias politica, dalam sistem demokrasi secara lebih luas juga dikenal dengan istilah “quadru politica”.[40]
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara.[41] Prinsip independence of judiciary
menjadi salah satu ciri terpenting dalam setiap negara hukum yang
demokratis. Tidak ada negara yan dapat dikatakan negara demokrasi tanpa
praktek kekuasaan kehakiman yang independen.[42] Dan prinsip lain yang harus ada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah judicial impartiality
atau prinsip ketidakberpihakan. Ketidakberpihakan itu sendiri
mengandung makna dibutuhkan hakim yang tidak saja bekerja secara
imparsial tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial.
Namun,
disamping kedua prinsip tersebut dari perspektif hakim sendiri
berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang dianggap
penting. Misalnya dalam forum International judicial Conference di Bangalore, India, 2001 berhasil disepakati draf kode etika dan prilaku hakim sedunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft.
Selanjutunya setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali-kali,
draft ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia
sebagai pedoman bersama dengan sebutan resmi The Bangalore Principles of Judicial Conduct.
Dalam the Bangalore Principles itu tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu Prinsip-prinsip independence, impartiality,integrity, propriety, equality, dan competence and diligence.[43]
1. Independensi (independence principle)
2. Ketidakberpihakan (impartiality principle)
3. Integritas ( integrity principle)
4. Kepantasan dan Sopan santun ( propriety principle)
5. Kesetaraan ( equality principle)
6. Kecakapan dan Keseksamaan ( competence and diligence principle)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar