Pengaturan mengenai hukum acara dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada diatur dalam PMK No 15 Tahun 2008. peraturan ini dibuat mengingat bahwa hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum yang berlaku[90] belum mengatur mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Konstitusi berwenang mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Keberadaan Peraturan Mahkamah konstitusi Ini menjadi penting, mengingat Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of konstitution) di
Negara Republik Indonesia ini merupakan lembaga Negara relatif baru
maka pehamanan dan kejelasan aturan main terutama yang menyangkut hukum
formilnya seperti persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan
permohonan sejak awal perlu dipersiapkan dengan baik oleh Pemohon.
Diterbitkannya PMK No 15 Tahun 2008
dilakukan dalam rangka mengupayakan agar permohonan yang diajukan
nantinya tidak kandas ditengah jalan sehingga mengakibatkan Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya harus menetapkan permohonan tersebut
dinyatakan tidak diterima (niet ovanlijke verklard)[91]. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon sesuai dengan ketentuan PMK No 15 Tahun 2008 adalah
Para pihak adalah orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada yang dibedakan atas:
a. Pasangan Calon sebagai Pemohon;
b. KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon.
Sedangkan pasangan calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada
Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi:
a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada;atau
b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
3. Pendaftaran Permohonan
Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada hanya dapat diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Termohon menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada;
b. uraian yang jelas mengenai:
1) kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
2) permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3) permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
c. Permohonan yang diajukan disertai alat bukti.
Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah Konstitusi. Permohonan yang sudah memenuhi persyaratan dan lengkap dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Sedangkan permohonan yang belum memenuhi syarat dan belum lengkap, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat waktu mengajukan permohonan. Kemudian Mahakamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi.
Putusan mengenai perselisihan hasil Pemilukada di ucapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi; Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim di ucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurang- kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi;
Sedangkan didalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyatakan:[94]
a. permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat ;
b. permohonan
dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya
Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan
oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan
hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Hal yang berbeda terjadi dalam putusan Mahkamah Konstitusi in casu.
Mahkamah Konstitusi menetapkan putusan untuk membatalkan untuk
mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menyatakan batal demi
hukum (void ab initio) Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan
untuk periode 2008-2013 dan memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Bengkulu Selatan untuk menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang yang diikuti oleh
seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kecuali
Pasangan Calon Nomor Urut 7 (H. Dirwan Mahmud dan H. Hartawan.) selambat-lambatnya
satu tahun sejak putusan ini di ucapkan serta Menolak permohonan
Pemohon untuk selain dan selebihnya. Amar putusan ini jelas secara legal
formal bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi dalam perkara ini telah melewati batas kewenangannya dengan
mengenyampingkan dan mengabaikan hukum formal sengketa pemilukada serta
berakibat terhadap ”kepastian hukum” dalam sengketa Pemilukada. Padahal
demi tercapainya keadilan kepastian hukum perlu diutamakan. Sedangkan
yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi in casu, demi keadilan, majelis hakim telah menetapkan putusan yang mengenyampingkan kepastian hukum itu sendiri[95].
Permasalahannya
sekarang apakah majelis hakim Mahkamah Konstitusi berwenang menetapkan
putusan terhadap sengkata Pemilukada yang secara legal formal
bukan merupakan kewenangannya. Terhadap hal tersebut, kita harus
mengembalikan kepada tujuan hukum itu sendiri yaitu terwujudnya keadilan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Taufiqurrahman Syahuri[96] bahwa tujuan
hukum adalah keadilan, jadi rumus bagi hakim dalam memvonis: Demi
keadilan, kepastian hukum terpaksa harus dikesampingkan; demikian juga,
Demi keadilan, kepastian hukum perlu diutamakan. Dengan demikian, kapan
kepastian hukum itu ditegakkan atau dikesampingkan, semuanya demi
keadilan.
Demi keadilan, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut telah mengenyampingkan kepastian hukum sebagai asas dasar dalam penegakan hukum, sedangkan keadilan
sebagai tujuan hukum terasa menjadi sangat relatif, dikarenakan cara
pandang hakim dan ilmuwan yang berbeda terhadap makna hukum dam keadilan
itu sendiri karena adanya berbagai macam teori hukum yang terus
mengalami perubahan dari teori yang satu ke
teori yang lain dalam rangka mencari kebenaran dan kemudian bekembang
menjadi aliran hukum. Dengan adanya berbagai aliran hukum tentu memberi
makna bahwa para hakim tidak mungkin kesemuanya berada dibalik satu
aliran hukum yang sama. Pastilah para hakim berada dibalik aliran hukum
yang berbeda. Dalam situasi itulah hukum Indonesia berjalan dan akan
menjadi bagian dari masalah dari penegakan hukum di Indonesia[97].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar