Sabtu, 20 Februari 2016

Hukum Acara Dalam Perselisihan Hasil Pemilukada di Mahkamah Konstitusi


Pengaturan mengenai hukum acara dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada diatur dalam PMK No 15 Tahun 2008.  peraturan ini dibuat mengingat bahwa  hukum  acara  perselisihan  hasil  pemilihan  umum yang berlaku[90] belum mengatur mengenai perselisihan  hasil pemilihan umum kepala daerah. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Konstitusi berwenang  mengatur  lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Keberadaan Peraturan Mahkamah konstitusi Ini menjadi penting, mengingat Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of konstitution) di Negara Republik Indonesia ini merupakan lembaga Negara relatif baru maka pehamanan dan kejelasan aturan main terutama yang menyangkut hukum formilnya seperti persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan sejak awal perlu dipersiapkan dengan baik oleh Pemohon. Diterbitkannya PMK No 15 Tahun 2008 dilakukan dalam rangka mengupayakan agar permohonan yang diajukan nantinya tidak kandas ditengah jalan sehingga mengakibatkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya harus menetapkan permohonan tersebut dinyatakan tidak diterima (niet  ovanlijke verklard)[91].  Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon sesuai dengan ketentuan PMK No 15 Tahun 2008 adalah
1.       Para pihak[92]
Para pihak adalah orang yang mempunyai  kepentingan  langsung dalam perselisihan  hasil Pemilukada yang  dibedakan atas:
a.       Pasangan Calon sebagai Pemohon;
b.      KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon.
Sedangkan pasangan   calon   selain   Pemohon   dapat   menjadi   Pihak   Terkait   dalam perselisihan hasil Pemilukada
2.       Objek perselisihan[93]
Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi:
a.       penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada;atau
b.      terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
3.       Pendaftaran Permohonan
Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada hanya  dapat diajukan  ke Mahkamah  paling  lambat  3 (tiga)  hari kerja  setelah  Termohon  menetapkan  hasil penghitungan suara                 Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Permohonan  diajukan  secara  tertulis  dalam  bahasa  Indonesia  sebanyak  12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a.       identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada;
b.      uraian yang jelas mengenai:
1)      kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
2)      permintaan/petitum  untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3)      permintaan/petitum  untuk  menetapkan  hasil penghitungan  suara  yang benar menurut Pemohon.
c.       Permohonan yang diajukan disertai alat bukti.

Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.  Permohonan yang  sudah  memenuhi  persyaratan  dan lengkap dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Sedangkan permohonan yang belum memenuhi syarat dan belum lengkap, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat waktu mengajukan permohonan. Kemudian Mahakamah Konstitusi  menetapkan hari sidang pertama dan  pemberitahuan   kepada   pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi.
Putusan  mengenai  perselisihan  hasil Pemilukada  di ucapkan  paling  lama 14 (empat  belas)  hari  kerja  sejak  permohonan  dicatat  dalam  Buku  Registrasi Perkara Konstitusi; Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan  Hakim di ucapkan dalam  Sidang  Pleno  terbuka  untuk  umum  yang  dihadiri  oleh  sekurang- kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi;
Sedangkan didalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyatakan:[94]
a.       permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat ;
b.      permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
c.       Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.

Hal yang berbeda terjadi dalam putusan Mahkamah Konstitusi in casu. Mahkamah Konstitusi menetapkan putusan untuk membatalkan untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menyatakan batal demi hukum (void ab initio) Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan untuk periode 2008-2013 dan memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bengkulu Selatan untuk menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang yang diikuti oleh seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kecuali Pasangan Calon Nomor Urut 7 (H. Dirwan Mahmud dan H. Hartawan.) selambat-lambatnya satu tahun sejak putusan ini di ucapkan serta Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Amar putusan ini jelas secara legal formal bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini telah melewati batas kewenangannya dengan mengenyampingkan dan mengabaikan hukum formal sengketa pemilukada serta berakibat terhadap ”kepastian hukum” dalam sengketa Pemilukada. Padahal demi tercapainya keadilan kepastian hukum perlu diutamakan. Sedangkan yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi in casu, demi keadilan, majelis hakim telah menetapkan putusan yang mengenyampingkan kepastian hukum itu sendiri[95].
Permasalahannya sekarang apakah majelis hakim Mahkamah Konstitusi berwenang menetapkan putusan terhadap sengkata Pemilukada yang secara legal formal bukan merupakan kewenangannya. Terhadap hal tersebut, kita harus mengembalikan kepada tujuan hukum itu sendiri yaitu terwujudnya keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Taufiqurrahman Syahuri[96]  bahwa tujuan hukum adalah keadilan, jadi rumus bagi hakim dalam memvonis: Demi keadilan, kepastian hukum terpaksa harus dikesampingkan; demikian juga, Demi keadilan, kepastian hukum perlu diutamakan. Dengan demikian, kapan kepastian hukum itu ditegakkan atau dikesampingkan, semuanya demi keadilan.
Demi keadilan, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut telah  mengenyampingkan kepastian hukum sebagai asas dasar dalam penegakan hukum, sedangkan keadilan sebagai tujuan hukum terasa menjadi sangat relatif, dikarenakan cara pandang hakim dan ilmuwan yang berbeda terhadap makna hukum dam keadilan itu sendiri karena adanya berbagai macam teori hukum yang terus mengalami perubahan dari teori yang satu  ke teori yang lain dalam rangka mencari kebenaran dan kemudian bekembang menjadi aliran hukum. Dengan adanya berbagai aliran hukum tentu memberi makna bahwa para hakim tidak mungkin kesemuanya berada dibalik satu aliran hukum yang sama. Pastilah para hakim berada dibalik aliran hukum yang berbeda. Dalam situasi itulah hukum Indonesia berjalan dan akan menjadi bagian dari masalah dari penegakan hukum di Indonesia[97].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar