Sesuai
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-undang terhadap undang dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, mmutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil perselisihan hasil pemilihan umum, selain itu
pasal 24 ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar[52]. Kewajiban ini secara timbak balik juga
berisi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara yang
dimaksud, sehingga dapat dikatakan Bahwa Mahkamah konstiutsi Memiliki
lima bidang kewenangan peradilan yaitu:[53]
1. Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas Undang-Undang.
2. Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara,
3. Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum,
4. Peradilan pembubaran partai politik
5. Peradilan atas pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar
Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi memiliki kemerdekaan yudisial.
Secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi adalah merdeka dari campur
tangan kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Hal itu ditunjukkan dengan aturan yang menentukan, bahwa organisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah
kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi[54].
Ketentuan itu lebih tegas lagi dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, bahwa Mahkamah
Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik
dan bersih. Dalam penjelasannya, ketentuan Pasal 12 tersebut dimaksudkan
untuk menjamin kemandirian dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam
mengatur organisasi, personalia, administrasi dan keuangan sesuai dengan
prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.[55]
Ketentuan
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tersebut menunjukkan, bahwa
kemerdekaan yudisial yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dilaksanakan
tidak terpisah dari akuntabilitas
yudisial. Kemerdekaan institusional Mahkamah Konstitusi tidak
semata-mata untuk tujuan kemerdekaan itu sendiri, tetapi menjadi
instrumen untuk menjamin kredibilitas Mahkamah Konstitusi di depan
publik.[56]
Pada saat sekarang ini terdapat satu hal yang masih jadi perdebatan terhadap kewenangan mahkamah konstitusi, menurut pendapat para sarjana Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat menampung pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.[57]
Pan Mohamad Faiz mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Genhard Dannemann dalam bukunya “Constitutional Complaints: The European Perspective” menyimpulkan bahwa kewenangan constitutional complaint
yang sebelumnya hanya dimiliki oleh beberapa negara Eropa, kini sudah
berkembang pesat dan telah diadopsi hampir di seluruh negara-negara
Eropa Tengah dan Timur. Salah satu Mahkamah
Konstitusi yang pertama kali menerapkan dan mengembangkan kewenangan
constitutional complaint adalah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts). Kewenangan yang didasari pada Pasal 93 ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland tersebut, menurut Jutta Limbach, merupakan kewenangan terpenting yang kini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini lebih dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint.
Lebih lanjut ia memberikan contoh kasus constitutional complaint
yang cukup terkenal di Jerman yaitu mengenai tuntutan soal larangan
penyembelihan hewan karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang
Tentang Perlindungan Hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa
berkeberatan mengajukan hal ini ke Bundesverfassungsgerichts
karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Sebab,
ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum
halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengabulkan tuntutan
itu dengan alasan kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan di bawah Undang-Undang dasar.
Jika
instrumen ini telah nyata menjadi salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi , maka dapat di prediksi bahwa Mahkamah akan kebanjiran permohonan mengenai constitutional complaint, sebab hingga saat ini disinyalir begitu banyak hasil warisan kebijakan publik yang dianggap telah melangkahi basic rights warga negara Indonesia. Menjadi pertanyaan sekarang adalah mungkinkah di masa yang akan datang kita dapat menuai hasil constitutional complaint?
Jawabannya akan ditentukan dari sejauh mana para pemimpin bangsa ini
mampu memaknai seberapa urgent dan pentingnya kewajiban negara dalam
melindungi basic rights setiap warga negaranya sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar