Jimly
Ashiddiqie mengatakan bahwa Pemilukada yang pelaksanaannya didasarkan
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menurut ketentuan dalam Undang-Undang ini, pemilihan kepala
daerah tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum. sehingga rezim
hukumnya tidak dikaitkan dengan ketentuan pasal 22E UUD 1945 yang
mengatur mengenai pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum,[71] melainkan semata-mata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini diperkuat oleh pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 tertanggal 21 Maret 2005.[72] yang menyatakan Pilkada langsung
tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum. Hal ini mungkin dapat di
pahami mengapa Mahakamah Konstitusi menyatakan hal yang demikian. Namun
apabila mencermati kembali
pendapat Jimly Ashiddiqie tersebut yang menjelaskan tentang rezim hukum
Pemilukada, lebih lanjut ia menambahkan bahwa permasalahan tersebut
diserahkan kepada legal police pembentuk Undang-Undang yang
menentukan apakah Pemilukada merupakan bagian dari Pemilu sehingga rezim
hukumnya dikaitkan dengan ketentuan pasal 22E UUD 1945 atau tetap
tunduk pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur mengenai
pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Hal yang sama juga menjadi poin
penting dalam putusan Mahkamah konstitusi itu sendiri.
Terhadap rezim hukum Pemilukada yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada legal police
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Pada perkembangannya,
permasalahan tersebut sudah menemukan jawaban, terutama setelah
ditetapkannya Undang-Undang No, 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pemilu. Permasalahan tersebut terjawab sudah. berdasarkan Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang No, 22 Tahun 2007 menyebutkan:
“Pemilu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini sepertinya menegaskan sekaligus menjawab permasalahan tentang legal police
Pemilukada. Ia metepkan bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti legal police
telah menentukan Pemilukada merupakan bahagian dari Pemilu dan bahwa
pelaksanaan penyelenggaraannya selain tunduk pada ketentuan dalam
konstitusi Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah merupakan dasar konstitusional pembentukan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan penyelenggaraan Pemilukada
dalam Negara Kesatuaan Republik Indonesia. Juga harus tunduk terhadap
ketentuan Pasal 22E UUD 1945 adalah pasal yang mengatur tentang
Pemilihan Umum yang didalamnya menjelaskan tentang pejabat yang dipilih
melalui pemilihan umum.
Selain
permasalahan tersebut diatas dalam pelaksanaan Pemilukada masih trdapat
masalah lain, pelaksanaan Pemilukada sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Pasal 56 ayat 1 menyebutkan bahwa:
“ Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil”[73]
Proses
pelaksanaan Pemilukada itu sendiri masih mengandung penafsiran yang
berbeda bagi sebagian ahli hukum, misalnya Frasa “dipilih secara
demokratis” mengisyaratkan bahwa proses pemilihan kepala daerah dengan
sistem perwakilan (melalui institusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau
dikenal dengan istilah DPRD) yang berlangsung sebelum amandemen UUD
1945 masih sangat jauh dari demokratis.[74]
Menurut Jimly Asshiddiqie[75]
perkataan ‘dipilih secara demokratis’ bersifat luwes, sehingga mencakup
pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh
DPRD seperti yang pada umumnya pernah dipraktekkan di daerah-daerah
berdasarkan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku. Lebih jauh Jimly
Asshiddiqie mengatakan;
“Bahkan,
sesuai perkembangan taraf demokrasi di berbagai daerah, berdasarkan
ketentuan ayat ini, terbuka peluang untuk menentukan pemilihan kepala
pemerintahan di daerah-daerah diadakan secara langsung oleh rakyat.”[76]
Meskipun
hasil perubahan UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebut pemilihan
langsung oleh rakyat, kehadiran Pasal 62 ayat (1) huruf d dan Pasal 78
ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD[77]
mengharuskan dilakukannya Pemilukada secara langsung. Keharusan itu
muncul karena DPRD tidak diberikan kewenangan lagi untuk memilih kepala
daerah. Dalam proses pemilihan kepala daerah, Undang-Undang 22 Tahun
2003 hanya memberikan peran minimal kepada DPRD yaitu sebatas
mengusulkan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Menurut S.H. Sarundajang[78],
perubahan-perubahan ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah itu merupakan konsekuensi dari tuntutan
demokratisasi yang tentunya akan berpengaruh pada kegiatan pemerintahan
di tingkat lokal (local government). Diakui bahwa sejak lama rakyat telah menghendaki Pemilukada dilakukan secara langsung.
Dengan perubahan itu, pada dasarnya Pemilukada secara langsung merupakan kelanjutan dari institutional arrangement menuju
demokrasi, khususnya bagi peningkatan demokrasi di daerah.
Bagaimanapun, pemimpin yang terpilih melalui proses pemilihan langsung
akan mendapat mandate dan dukungan yang lebih riil dari rakyat
sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih.
Karenanya kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi pemimpin dalam melaksanakan kekuasaannya.[79]
Persoalannya
adalah, rumusan dalam UUD 1945 masih dapat ditafsirkan sesuai dengan
atmotsfir kekuasaan yang dijalani oleh pemerintahan yang berkuasa.
Dengan kata lain, makna “dipilih secara demokratis” dapat saja
ditafsirkan sebagai bentuk pemilihan secara tak langsung seperti apa
yang dipraktekan selama pembelakukan Undang-Undang tentang pemerintahan
daerah sebelum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Disamping
itu, patut juga dikembangkan pola baru agar proses Pemilukada tidak
diserahkan “bulat-bulat” kepada partai politik untuk melakukan rekrumen
bakal calon dan menetapkan bakal calon terpilih. Perlu dipikirkan
mekanisme baru guna menjamin keberadaan kandidat independen mendapat
tepat pada proses pemilihan. Tentunya dengan membuka kemungkinan
tersebut yang lebih terjamin di tingkat konstitusi.
UUD 1945 tidak memberikan batasan bahwa calon kepala daerah mesti berasal dari partai politik. Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.[80] Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 59 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menyatakan bahwa calon kepala daerah hanya dapat diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasal ini kemudian
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor 5/PUU-V/2007
pada hari Senin ttanggal 23 Juli 2007 yang diajukan Lalu Ranggalawe
anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah.[81]
Ketentuan
mengenai pemilihan Kepala Daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sendiri pada perkembangannya telah banyak mengalami
perubahan, hal ini terjadi karena adanya beberapa perubahan terhadap Undang-Undang tersebut dan permohonan
Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi
yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, diantaranya selain
diperkenankannya calon independent maju sebagai pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah, perubahan juga terjadi terhadap
ketentuan mengenai pertanggungjawaban KPUD dalam menyelenggarakan
pemilihan umum kepala daerah kepada DPRD.[82] Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2005 atas Perkara No
072-073/PUU-II/2004 dan Perkara No 055/PUU-III/2005, ketentuan ini
berubah menjadi “Pemilihan kepala daeran dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh KPUD” saja.
Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut menghartuskan dilakukannya beberapa
perubahan dalam substansi pasal-pasal dan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tersebut, diantara perubahan tersebut adalah tentang
syarat-syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
berdasarkan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah
warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat:[83]
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang DasarNegara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
f. Tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
lebih;
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. Tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan
negara.
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. Menyerahkan
daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan
dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum
pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p. Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
Setelah
perubahan kedua terhadap Undang-Undang Pemerintahan Dearah menjadi
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008, Ketentuan Pasal 58 huruf d dan huruf f
diubah, huruf 1 dihapus serta ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf q,
sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut[84]:
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang DasarNegara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
Pemerintah;
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d. Berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur/wakil
gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi
calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
f. Tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j. Tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara;
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. Dihapus;
m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. Menyerahkan
daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan
dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selarna 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
p. Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan
q. Mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya
Apabila
kita melihat sejarah pelaksanaan pemilihan kepala daerah dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia, terlepas dari permasalahan yang ada
sampai dengan saat sekarang ini dengan timbulnya berbagai konflik pasca
pelaksanaan Pemilukada serta pelaksanaannya yang dinilai oleh sebagian
kalangan menghabiskan anggaran dana yang sangat besar dan berbanding
terbalik dengan tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat yang
masih berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini didukung pula oleh fakta
bahwa tidak semua daerah mempunyai tingkat pendapatan daerahnya mampu
membiayai pelaksanaan Pemilukada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar