Pemohon Prinsipal Habiburokhman saat menyampaikan pokok-pokok
permohonan dalam sidang uji materi UU Pilkada, Rabu (19/8) di Ruang
Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
Ketentuan yang mengatur syarat pengajuan permohonan pembatalan
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi
Undang-Undang (UU Pilkada) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Secara
khusus, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a, b,
c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c, d UU Pilkada.
Pemohon dalam Perkara yang teregistrasi dengan nomor 97/PUU-XIII/2015
itu adalah seorang politisi Partai Gerindra Habiburokhman yang berniat
mengajukan diri sebagai calon peserta Pilkada tahun 2017 mendatang.
Menurutnya, ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang membatasi pengajuan
permohonan sengketa dengan angka selisih tidak lebih dari dari 2% dan
ada variasi sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota atau provinsi, dinilai
Pemohon berpotensi melanggar hak konstitusionalnya.
“Ketika saya mengikuti Pilkada kemudian ada selisih yang lebih dari
2% lalu saya tidak bisa mengajukan permohonan, padahal di undang-undang
yang terdahulu normanya adalah selama berpengaruh, bahkan Mahkamah
Konstitusi mempraktikan doktrin terstruktur, sistematis, dan masif,
menurut saya secara de facto memang ini bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan kemunduran dari apa yang sudah
dipraktikan oleh Mahkamah Konstitusi,” paparnya di Ruang Sidang Pleno
MK, Jakarta, Rabu (19/8).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 158 ayat (1)
huruf a, b, c, d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c,d UU Pilkada
bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai ‘Permohonan
pembatalan hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon dan terjadinya kecurangan yang
bersifat TSM’.
Sudah Pernah Diputus
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin
Adams dan Hakim Konstitusi Aswanto menyatakan permohonan Pemohon sudah
pernah diajukan ke MK dengan Putusan Nomor 51/PUU- XIII/2015 dengan amar
putusan tidak dapat diterima. Namun, kendati norma yang diujikan sama,
batu ujinya berbeda dengan putusan sebelumnya, sehingga Pemohon perlu
mengelaborasi lebih lanjut alasan permohonannya.
“Apabila memang (permohonan) ini diteruskan, maka tentu hal-hal yang
terkait dengan hal-hal teknis, ya perlu diuraikan seperti mengenai batu
ujinya ini, diuraikan dalam alasan permohonan pengujian, dan
diperlihatkan pertentanganya dengan pasal yang jadi objek pengujian ya,”
ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin.
Adapun Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan, Pemohon perlu
melampirkan bukti untuk memperkuat kedudukan hukumnya agar permohonan
diterima. “Kalau cuma karena berkeinginan (menjadi calon kepala daerah)
begitu tampaknya belum pernah menjadi sikap Mahkamah, kecuali memang
sudah ada dibuktikan,” ujarnya. (Lulu Hanifah)
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11854
Tidak ada komentar:
Posting Komentar