Sabtu, 20 Februari 2016

Penafsiran Hukum


Indonesia sebagai negara hukum mengenal adanya hukum baik tertulis maupun hukum yang tidak tertulis[59], yang artinya disamping terdapat Peraturan Perundang-undangan terdapat dan dikenal pula berupa adat istiadat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat sebagai pengatur tingkah laku dalam pergaulan hidup sehari-hari. Adanya dualisme hukum yang diakui ini, dikarenakan ketentuan Peraturan Perundang-undangan tidaklah mungkin mencakup segala hal peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat[60].
Biasanya pembuat Undang-Undang hanya menetapkan peraturan umum saja (inabstracto), sedangkan pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit terpaksa diserahkan kepada hakim, sehingga nantinya keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana yang nyata (werkelijkheid) yang menyimpang dari hukum dalam suasana positiviteit dalam rangka penyesuaian Undang-Undang dalam kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat[61]. Kadangkala hakim dapat menambah (aanvullen) Undang-Undang karena pada dasarnya pembuat Undang-Undang senantiasa tertinggal dari peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi dalam masyarakat, sehingga dengan demikian, hakim diberikan kewenangan melakukan penafsiran (interpretation) hukum[62]. Secara jelas Chainur Arrasjid menjelaskan cara-cara penafsiran (interpretatie methoden) hukum yang dilakukan hakim[63], antara lain sebagai berikut:
1.         Tata bahasa (gramatikal);
Penafsiran secara gramatikal yaitu suatu penafsiran Undang-Undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat pada Undang-Undang yang bertitik tolak pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam Undang-Undang.
2.         Sistematis;
Dalam hal ini harus diperhatikan hubungan suatu perkataan yang hendak ditafsirkan dalam rangka yang lebih besar, yaitu dengan kalimatnya yang merupakan suatu pasal, akan tetapi pasal-pasal tersebut mempunyai hubungan lagi dengan beberapa pasal lainnya mengenai suatu hal tertentu yang ada sangkut pautnya dengan beberapa hal dalam hubungan yang lebih luas lagi.
3.         Histories;
Penafsiran secara historis adalah menafsirkan Undang-Undang dengan cara melihat sejarah terjadi atau pembetukan Undang-Undang tersebut, karena setiap Undang-Undang yang dibuat pasti memiliki sejarah. Selain itu hakim pun dapat mempelajari segala pembicaraan dan perdebatan sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah ketika proses pembentukan suatu Undang-Undang sedang berlangsung.
4.         Sosiologi (teleologis);
Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara mencari maksud atau tujuan pembuatan Undang-Undang.
5.         Autentik;
Penafsiran secara autentik adalah suatu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang. Seperti arti sebuah istilah dalam Undang-Undang dan biasaya terletak pada bab satu ketentuan umum.
6.         Ekstensif;
Penafsiran secara ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam perturan perUndang-Undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalam, seperti “aliran listrik” yang masuk katagori “benda”.
7.         Restriktif;
Penafsiran secara restriktif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam Undang-Undang.
8.         Analogis;
Penafsiran secara analogis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam Undang-Undang sesuai dengan asas hukumnya.
9.         A contrario (perlawanan);
penafsiran a contrario adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-Undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar