Indonesia sebagai negara hukum mengenal adanya hukum baik tertulis maupun hukum yang tidak tertulis[59],
yang artinya disamping terdapat Peraturan Perundang-undangan terdapat
dan dikenal pula berupa adat istiadat dan kebiasaan yang ada dalam
masyarakat sebagai pengatur tingkah laku dalam pergaulan hidup
sehari-hari. Adanya dualisme hukum yang diakui ini, dikarenakan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan tidaklah mungkin mencakup segala
hal peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat[60].
Biasanya pembuat Undang-Undang hanya menetapkan peraturan umum saja (inabstracto),
sedangkan pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit terpaksa diserahkan
kepada hakim, sehingga nantinya keputusan hakim dapat memuat suatu
hukum dalam suasana yang nyata (werkelijkheid) yang menyimpang dari hukum dalam suasana positiviteit dalam rangka penyesuaian Undang-Undang dalam kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat[61]. Kadangkala hakim dapat menambah (aanvullen)
Undang-Undang karena pada dasarnya pembuat Undang-Undang senantiasa
tertinggal dari peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi dalam
masyarakat, sehingga dengan demikian, hakim diberikan kewenangan
melakukan penafsiran (interpretation) hukum[62]. Secara jelas Chainur Arrasjid menjelaskan cara-cara penafsiran (interpretatie methoden) hukum yang dilakukan hakim[63], antara lain sebagai berikut:
1. Tata bahasa (gramatikal);
Penafsiran
secara gramatikal yaitu suatu penafsiran Undang-Undang menurut arti
perkataan (istilah) yang terdapat pada Undang-Undang yang bertitik tolak
pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam
kalimat-kalimat yang dipakai dalam Undang-Undang.
2. Sistematis;
Dalam
hal ini harus diperhatikan hubungan suatu perkataan yang hendak
ditafsirkan dalam rangka yang lebih besar, yaitu dengan kalimatnya yang
merupakan suatu pasal, akan tetapi pasal-pasal tersebut mempunyai
hubungan lagi dengan beberapa pasal lainnya mengenai suatu hal tertentu
yang ada sangkut pautnya dengan beberapa hal dalam hubungan yang lebih
luas lagi.
3. Histories;
Penafsiran
secara historis adalah menafsirkan Undang-Undang dengan cara melihat
sejarah terjadi atau pembetukan Undang-Undang tersebut, karena setiap
Undang-Undang yang dibuat pasti memiliki sejarah. Selain itu hakim pun
dapat mempelajari segala pembicaraan dan perdebatan sidang antara Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pemerintah ketika proses pembentukan suatu
Undang-Undang sedang berlangsung.
4. Sosiologi (teleologis);
Penafsiran
secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
mencari maksud atau tujuan pembuatan Undang-Undang.
5. Autentik;
Penafsiran
secara autentik adalah suatu penafsiran resmi yang diberikan oleh
pembuat Undang-Undang. Seperti arti sebuah istilah dalam Undang-Undang
dan biasaya terletak pada bab satu ketentuan umum.
6. Ekstensif;
Penafsiran
secara ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam perturan perUndang-Undang
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalam, seperti “aliran
listrik” yang masuk katagori “benda”.
7. Restriktif;
Penafsiran
secara restriktif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam
Undang-Undang.
8. Analogis;
Penafsiran
secara analogis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam
Undang-Undang sesuai dengan asas hukumnya.
9. A contrario (perlawanan);
penafsiran
a contrario adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi
dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-Undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar